This is default featured post 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Jumat, 23 Agustus 2013

To The Argopuro



Hacking the Argopuro mountain




    
 

Beserta dengan
telkomsel.com/nekadtraveler

     Mungkin banyak yang tidak tahu kota Bondowoso , sebuah kota kecil yang di apit oleh dua gunung yaitu gunung Argopuro dan Raung  . Tetapi mungkin sebagian orang sudah ada yang tahu apabila disandingkan dengan kata “Setan Bondowoso” karena populernya video youtube tersebut . Pada artikel ini saya tidak membahas  hal mistis tersebut melainkan perjalananku dan dua sobatku mendaki gunung Argopuro . Pada perjalan ini aku (Atmam) dan dua temanku (Ipung dan Yusron) berencana menaklukan (bahasa kami hacking) Gunung Argopuro dengan menamakan grup kami sebagai “Mountain Hacker” . Kami memulainya dari desa tercinta kami desa Pancoran . Di Desa kami jaringan 3G TELKOMSEL sangat cepat dan nyaman karena desa kami masih termasuk kecamatan kota . Dari situ kami mempersiapkan perbekalan dan sedikit perlengkapan . Kami berangkat jam 08.30 dengan sepeda , pada saat kami melewati sebuah desa yang sudah jauh dari kecamatan kota kami terlupa sesuatu yaitu membawa kompas , Untung teman saya mempunyai Handphone Smartphone berbasis android kami mencoba mendownload kompas versi digital android yang tentu saja menggunakan jaringan 3G TELKOMSEL karena kartu teman saya adalah produk TELKOMSEL yaitu AS dan tidak dapat disangka jaringan dalam cakup HDSPA, lumayan jadi kami tidak perlu berlama-lama untuk mendownlod sebuah kompas digital.





Dalam pendakian ini kami tergolong nekad dalam menjelajah karena alas kaki yang kami gunakan adalah sandal mengapa tidak sepatu? Daripada sepatu kami lebih menggunakan sandal karena kami akan melewati jalan yang tak beraspal dan mulus, toh sandal rusak lebih baik daripada sepatu yang rusak. Pada pukul 10.45 kami sampai di Rumah saudara sepupuku yang berada di kaki gunung yaitu desa Kabuaran karena kami anak yang suka terhadap jejaring sosial kami mencoba membuka akun facebook dan hasilnya lumayan meski tidak optimal dari pada operator lain yang hasilnya hampir blank.
  

 

Setelah kami menitipkan sepeda kami kepada saudaraku , kami melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki . Perjalanan sangat menyenangkan karena kami melakukannya sembari berfoto ria . Kami berjalanan menyusuri jalan aspal yang masih ada disekitar kaki gunung ini hingga sampai di jalanan yang berbatu dan semakin lama jalan mulai menanjak pada bagian menanjak tersebut kami merasa senang karena perjalanan kami yang begitu menantang . Untuk mempersingkat perjalanan kami melewati sebuah sebuah hutan karet yang terlihat lebat . Kami melakukan observasi tempat agar kami bisa menggetahui tujuan yang akan kami tuju dengan bantuan kompas. Kami berjalan terus mengikuti arah kompas melewati semak belukar hingga sampailah kami disebuah tempat dimana terlihat tanah tandus  tanpa rumput di tengah hutan yang banyak rerumputan yang menandakan tanah tandus tersebut adalah jalan akibat hentakan kaki seseorang telah terjadi sangat lama hingga membentuk sebuah jalan . Kami menyusuri jalan tersebut dan melihat sungai yang berada disamping jalanan , sungainya jernih sekali beda dengan di desaku yang sungainya berwarna kecoklatan selang beberapa menit kami melihat sebuah perkampungan yang kami rasa ini terlalu jauh dari kota , dan ternyata kampung terpencil tersebut bernama “kampung Jawa” sangatlah aneh rasanya selain Penduduk Bondowoso mayoritas suku Madura apalagi desa-desa yang berada di kaki gunung menggunakan percakapan bahasa madura , unik bukan?. Di kampung tersebut kami melihat peternakan lebah, beberapa kambing dan di setiap rumah terdapat parabola yang memang bisa dimaklumi . Kami meneruskan perjalanan kami hingga sampai di sebuah tebing yang landai dengan kemiringan tebing kira-kira 27-32 derajat dengan di tanami tanaman tembakau yang mungkin milik kampung tersebut . Sebenarnya saya bingung ternyata ada orang yang lebih nekad dari kami , mereka menanam tembakau didaerah tebing bagaimana jika panen? Lalu kami meihat patokan kayu yang tertancap sangat kuat dengan untaian tali yang begitu panjang . Sejenak saya beranggapan mungkin mereka memanen dengan cara bergelantungan . Entah itu benar atau salah kami tetap melanjutkan pendakian kami untuk menghack yang namanya gunung Argopuro. Pendakian kami semakin sulit lalu kami beristirahat disebuah tebing landai yang tidak teralalu curam . Saat kami beristirahat kami dapat meihat pemandangan kota Bondowoso yang seperti semut , kami juga melihat ngarai yang begitu indah nan hijau tiba-tiba handphone temanku berbunyi , yang menelponnya adalah ibunya sekedar menannyai perjalanan kami . Aku berpikir terheran-heran bagaimana bisa menerima telpon di daerah seperti ini ???? ternyata sinyal TELKOMSEL begitu kuat meski jaringan 3G sudah melemah . Setelah istirahat kurang lebih 15 menit kami melanjutkan pendakian kami hingga kami sampai di bagian hutan yang berada di puncak Argopuro . Terasa menyenangkan perjalanan kami telah tuntas apalagi dengan adanya kompas yang tentu saja menggunkan jaringan internet TELKOMSEL .
  Kami sampai dipuncak Argopuro kira-kira pukul 02.10 dan kembai pulang dengan selamat berkat doa orangtua dan tentu saja JARINGAN 3G TELKOMSEL kira-kira pukul 05.35 . Sungguh Pendakian yang menyenangkan.

Minggu, 07 Juli 2013

True Friend

Sahabat Sejati

kian lama hidup yang ku jalani
selalu bersama mu sahabat ku
susah sedih senang yang ku rasakan
bersama mu sahabat ku

sahabat
begitu banyak kenangan yang kita lalui
ke bahagian yang selalu kita rasa bersama
namun musnah dengan sekejap
telah di renggut oleh maut yang tak terduga

sahabat
kini kau telah pergi meninggalkan ku
meninggalkan semua kenangan kita
menyimpulkan sebuah air mata
yang terjatuh di pipi ku

sahabat
meski kini kita tak bersama
meski kita telah berbeda kehidupan
namun kita tetap satu dalam hati dan cinta
karena kau sahabat sejati ku

selamat tinggal sahabat ku
selamat jalan sahabat sejati ku
cinta kasih mu kan selalu satu di hati ku
selamanya ………

karya :zhulva

NEW SIGNS*3 : Perdais


NEW SIGNS*3 : Perdais
Karya Avans Cross Lines
 
Aku terbangun dalam situasi ruang dan waktu yang tak terlalu aku pahami. Aku menerawang ke segala sudut dalam rumah kayu jati yang diselimuti salju abadi. Aku merasa seperti telah hidup berabad-abad di rumah ini meski dalam kenyataan aku masih berumur 12 tahun.

Kupandangi keluar jendela. Tak ada apapun disana kecuali air tenang yang menghampar seluas samudera dan harusnya aku sadar bahwa rumahku memang terletak di tengah samudera. Di dalam rumah jati yang berdiri diatas batu karang seluas 2500m² ini tak ada apapun selain itu. Tak ada karang-karang lainnya, pulau-pulau kecil apalagi daratan luas.

Aku lahir di rumah ini namun ada banyak hal hingga detik ini yang tak aku mengerti. Dari mana barang-barang aneh berbentuk kotak dengan kaca cembung atau sebuah alat sebesar buku yang mengeluarkan suara dan cahaya dengan gambar berwarna-warni saat disentuh? Atau makanan dalam tabung besi yang tak aku mengerti? Dari mana kedua orang tuaku mendapatkan barang-barang itu karena setahuku, kami atau mereka tak pernah keluar dari rumah ini? Pernah aku menanyakan hal itu pada mereka namun mereka hanya bilang bahwa itu adalah peninggalan dari dunia lama. Dunia sebelum mereka tinggal di rumah ini dan melahirkanku.
 
New Signs*3: Peredais
Hal yang tak bisa aku pahami meski aku hanyalah anak-anak namun entah kenapa aku merasa tak masuk akal dengan salju yang hanya turun diatas atap rumah ini.

Riakan air laut pelan yang membentur karang, suara burung camar di langit senja, loncatan lumba-lumba di ujung jauh dan nyanyian ikan paus kerap menemani seluruh penghuni rumah ini. Rumah yang disebut sebagai Clingstone.

Kami tinggal berlima di rumah ini. Tak ada yang lain. Aku merasa kami adalah orang yang selamat dari kiamat masa lalu. Karena kadang memori aneh datang mengusik pikiranku. Memori-memori yang membuatku memikirkan hal-hal yang tak pernah aku ketahui. Memori yang mengingatkan tentang awal kisah aku berada disini. Di rumah ini. Di tengah dunia yang dipenuhi air ini. Dan hari demi hari memori itu semakin mengingatkanku tentang masa lalu, tentang segala hal tak masuk akal dan tak kuketahui sebelumnya. Aku seperti reinkarnasi dari orang di masa lalu. Dari orang yang hidup di dunia lama.

Kamarku berada di loteng rumah ini. Kamar kakak perempuanku berada di lantai dua tepat di bawahku. Sedangkan kamar ayah ibu dan kakek tersembunyi di lantai dasar. Meski tinggal dalam satu rumah, kami jarang bertatap muka. Saat jam makan tiba, makanan selalu sudah tersedia di meja makan. Bahkan aku tak tahu kapan ibu memasak makanan itu atau dari mana dia mendapatkannya. Aku sering telat makan, hingga akhirnya aku selalu makan sendirian di meja makan yang mewah.

Aku hampir tidak pernah melihat wajah kakakku sendiri selama setahun terakhir ini padahal kakakku selalu ada di kamarnya mengurung diri. Sedangkan kedua orang tuaku hanya menyapaku sekali dalam seminggu. Entah apa yang mereka lakukan di kamarnya masing-masing. Mungkin sama sepertiku. Hanya melamun. Aku tidak pernah mengetahui isi kamar mereka semua terutama aku tidak tahu letak pasti kamar kakekku sendiri. Entahlah meski terdengar aneh namun aku tak pernah merasa penasaran dengan mereka.
***

Ada hal yang tak biasa terjadi hari ini. Hal yang tak pernah aku jumpai sebelumnya. Hari yang mengubah segalanya. Hari dimana aku merasakan dan kuketahui seperti pernah terjadi namun belum pernah sama sekali.

Aku melihat dari jendela kamarku, seorang pria dan seorang wanita tak dikenal mendekati rumahku dengan sebuah perahu aneh. Mereka aneh. Bukan hanya karena aku baru pertama kali melihat manusia lain di dunia ini tapi karena mereka berpenampilan aneh.
Mereka mengenakan pakaian kaku dan ketat serba hitam dan mata mereka berwarna emas, bibir merekapun berwarna semerah darah.

Tiba-tiba ayah dan kakek keluar mendekati mereka. Mereka tampak berbincang-bincang. Aku tidak bisa mendengarnya namun mereka tampak emosi dan beradu mulut. Kemudian hal yang tak terduga terjadi. Wanita itu memukul wajah ayah hingga tulang lehernya patah dan dia tewas.
Tanganku gemetaran melihatnya. Aku tidak mengerti dengan apa yang telah terjadi. Kakekku berusaha melawan tapi dirinya tersungkur dan diceburkan ke laut.

2 orang itu masuk kedalam rumah dan terdengar teriakan ibuku di lantai bawah. 2 orang itu membawa paksa seorang perempuan berkimono merah muda. Itu kakak perempuanku. Wajahnya sungguh cantik. Ibu berusaha agar mereka tidak membawanya namun dia tak punya kekuatan melawan 2 orang yang lebih dari sekedar manusia biasa itu.

Ibuku masuk kembali ke dalam rumah sementara aku berlari ke lantai dasar untuk melihatnya.
“Dani!” teriaknya memanggilku terlihat khawatir. suara gaduh terdengar dari pintu utama. Wanita itu merangsak masuk mengikuti ibuku.
“Ibu, apa yang terjadi?” tanyaku. Ibu tak menjawab. Dia langsung menarik lenganku menuju kamarnya.

Baru pertama kali aku melihat kamar ibu. Di kamar itu banyak sekali barang-barang aneh yang sepertinya pernah aku lihat sebelumnya entah dimana. Barang-barang itu merasuki pikiranku. Membuka memori-memori aneh yang sempat tertutup. Namun kali ini semua itu semakin jelas. Televisi, ponsel, tablet, kulkas, microwave, dan barang-barang elektronik itu satu persatu aku kenali. Entah bagaimana aku merasa mengetahui semua itu padahal baru pertama kali ini aku melihatnya.
Dengan cepat ibu menarik sebuah tuas disamping pintu dan tiba-tiba lantai kayu kamar itu bergeser. Memperlihatkan sebuah ruangan aneh di bawahnya. Ruangan yang terlihat sangat modern dengan penuh jendela-jendela yang menampilkan banyak gambar.
“Dani, sudah saatnya kamu mengetahui kenyataan yang sesungguhnya. Pergilah menuju Peredais Land. Disana kamu akan mengetahui segalanya,” ucap ibu yang langsung melemparkanku ke sebuah perahu kecil berkubah kaca. Kemudian lantai itu tertutup sebelum aku mengerti situasi.
Perahu itu melaju membawaku meninggalkan rumah itu dan suara ibu yang mulai tak terdengar lagi. perahu melaju dengan sangat cepat menembus lautan biru yang tenang. Aku terdiam dalam lamunan angan ketidakpastian di tengah pelarian yang tak aku mengerti sama sekali.

Perahu itu sungguh sesuatu yang tak masuk akal lainnya. Aku tak melihat adanya alat, tombol, saklar, layar, mesin atau apapun yang bisa membuat perahu kayu berkubah kaca ini melaju secepat kilat. Yang ada sebuah tuas untuk membuka kubah tersebut. Aku menarik tuas tersebut. Setengah kubah itu terbuka. Tiba-tiba saja kecepatan perahu itu melambat. Kecepatan dalam tahap aman bagiku untuk berdiri dan melihat sekeliling.

Sungguh menakjubkan. Langit memancarkan pelangi dan meluncur menuju birunya laut siang itu. Laut masih tampak tenang. Tak ada angin maupun ombak yang terlihat di sudut jauh dari perahuku. Laut, terlihat seperti membeku saja. Tanpa angin, ombak maupun layar tapi kenapa perahuku bisa melaju secepat ini di lautan tenang? Saat aku mengintip ke pinggirannya, aku melihat sesuatu. Ada arus air yang sangat deras beberapa senti dari permukaan air di atasnya. Arus air itulah yang membuat perahu ini bergerak bukan sebaliknya.

Entah kemana perahu ini akan melaju. Jaraknya sudah berpuluh-puluh mil dari Clingstone dan aku tak melihat adanya tanda-tanda keberadaan sebuah pulau di ujung sana. Dalam kebingungan ini aku berpikir tentang ibu, ayah, kakek, dan kakak perempuanku. Sebenarnya apa yang aku kenal dari mereka? Kadang aku seakan tak pernah mengenal mereka semua. Semua orang di rumah itu bak membeku dalam diam dan aku baru menyadari lebih dalam betapa anehnya keluargaku. Betapa anehnya dunia ini dan kali ini aku memikirkan sebenarnya apa yang dilakukan mereka semua di kamar masing-masing. Apa yang kakakku kerjakan di kamarnya bertahun-tahun? Begitu betah dia tinggal disana, adakah rahasia di balik kamarnya? Termasuk kamar kakek, dan tentu saja kamar ibu yang sekarang aku mengetahui kebenarannya. Aku juga berpikir kenapa kakak perempuanku itu berparas jepang dan mengenakan kimono? Sedangkan wajah ayah dan ibu sarat akan amerika, kakek berwajah timur tengah, sedangkan aku sendiri kental Indonesia. Apa benar mereka adalah keluargaku?

Memori-memori itu kembali merasuk setiuap kali ucapan dan hal yang tak pernah aku ketahui mulai terkuak dan terutarakan oleh pikiranku sendiri. Apa yang sebenarnya telah terjadi? Manusia… kehidupan… Negara… kepulauan… antariksa… teknologi… daratan… Peredais Land. Satu persatu hal-hal yang tak kuketahui mulai menyerang pikiranku. Membeberkan segalanya. Seperti sebuh mozaik yang tercerai berai dan akhirnya mulai tersusun kembali meski masih ada celah di sekitarnya. Dan kini selama 12 tahun aku hidup di dunia ini aku sadar bahwa aku harusnya hidup di dunia yang bukan seperti dunia yang aku tinggali saat ini. Mimpi-mimpi yang selalu menghantuiku, disanalah harusnya aku tinggal.

Langit siang beranjak senja dan senja berganti malam yang gemerlap. Perahu ini masih melaju di jalurnya mungkin hingga ke ujung dunia. Tak ada tanda-tanda kehidupan yang terlihat. Langit malam yang bertabur jutaan bintang memantulkan cahayanya diatas laut yang hitam pekat. Membuat seolah-olah perahu itu berlayar diatas sebuah aliran galaksi. Indah sekali.

Lebih dari sehari perahu ini membawaku. Langit berubah menjadi pagi namun kali ini aku melihat sesuatu. Di kejauhan tampak beberapa ekor ikan yang meloncat-loncat. Ukurannya sebesar paus dan ikan itu berwarna pelangi dengan sisik berkilauan bak berlian. Ketika cahaya mentari menyinarinya, munculah sebuah lukisan alam yang menakjubkan. Goresan-goresan pelangi tercipta dari sisik ikan itu menghiasi langit dan lautan, melunjur membentuk setengah lingkaran. Jumlahnya sangat banyak dan indah tiada tara.

Tak berapa lama setelah itu, tampak sesuatu yang raksasa tepat di depanku. Jaraknya semakin dekat dan tampak sebuah tempat yang sungguh unik. Bangunan-bangunan terbuat dari bambu yang berdiri diatas sebuah rakit raksasa berbahan sama. Di belakang dan di samping tiap bangunannya tumbuh serumpun pohon bambu yang berkibar-kibar diterpa angin dari tenggara.
Perahuku tiba-tiba memelan. Dan berhenti di depan sebuah jalan setapak bambu yang mengambang. Terdapat sebuah plang bertuliskan Isle Of Bambusta diatasnya. Aku beranjak dari perahu itu dan berjalan diatas rakit panjang menuju bangunan-bangunan yang jaraknya seratus meter dariku.

Rakit oitu berkelok-kelok membentuk kotak-kotak seperti kolam yang di dalamnya terdapat macam-macam ikan yang terkurung jaring. Tampak banyak sekali orang-orang yang berlalu lalang. Mereka terlihat seperti manusia normal sepertiku namun sedikit aneh. Pakaian mereka sungguh nyentrik dengan warna warni yang menyilaukan mata dan mereka berbicara sendiri dengan benda aneh yang menempel di telinga mereka. Aku berjalan diantara bangunan bambu unik. Banyak sekali orang-orang disini seperti jalur lalu lintas perdagangan dan memang benar di setiap sudut bangunan yang banyaknya hampir menyerupai sebuah kota ini terdapat banyak pedagang yang menjajakan dagangannya. Tapi… lagi-lagi hal-hal aneh ini membuatku mengerutkan kening. Barang-brang yang mereka jual adalah barang-barang dari dunia lama. Berbagai ponsel dan barang elektronik canggih dijajakan di atas meja bambu yang tua. Banyak orang yang hendak membelinya meski begitu aku merasa apa yang mereka jual tidak serasi dengan latar belakang mereka.

Di sebuah dinding bangunan aku melihat sebuah papan tulis. Dan disana tertempel selembar peta yang lebar. Di sampingnya ada seorang berpakaian tentara yang berdiri. Aku mendekatinya dan melihat lebih dekat peta tersebut. aku melihat gambar lautan dengan banyak pulau-pulau terapung bernama yang tersebar namun ada sebuah daerah yang sungguh luas berada di sudut peta. Sebuah daratan bernama Peredais.
“Pak, aku mau tanya bagaimana aku bisa ke Peredais Land?” tanyaku pada tentara itu.
“Itu adalah daratan suci. Kau tidak boleh kesana. Lagipula jika kau ingin kesana kau harus melewati kematian terlebih dahulu,” katanya. Aku hanya diam tidak tahu harus bicara apa. Aku hanyalah anak kecil. Aku ceritakan padanya apa yang telah terjadi pada keluargaku.
“2 orang bermata emas mendatangi rumah kami, ayahku mati dibunuh, kakek tenggelam, kakak perempuanku diculik dan sebelum aku tahu apa yang mereka lakukan pada ibu, ibu melemparku pada sebuah perahu yang membawaku sampai kesini. Ibu sempat menyuruhku pergi ke tempat itu,” ujarku.
“Siapa nama ibumu, nak?”
“Anna Rose,”jawabku. Tentara itu sedikit terkejut.
“Seorang kakek tua penjaga telepon di pulau Mantai bisa memberitahumu cara menuju Peredais,” ucapnya sembari menunjuk sebuah pulau di peta itu.
“Bagaimana aku pergi ke pulau itu?” tanyaku.
“Pergilah ke tenggara, disana ada jalan menuju pulau itu,” katanya menunjuk ke sudut bangunan bambu yang paling tinggi.
Aku pun berlalu pergi. Berjalan kearah suatu ketidakmasukakalan lain. Di balik bangunan tinggi itu ada seorang pria kerdil berdiri di samping gerbang bambu raksasa yang bertuliskan Musa’s Line di atasnya. Di dalam gerbang tak berpintu itulah kemustahilan itu bergejolak.
***

Ombak terbelah menjadi dua tingginya 5 meter. Ditengahnya adalah sebuah laut datar tanpa gaya.
“Mau pergi kemana, nak?” tanya pria kerdil itu.
“Apa ini?” tanyaku heran.
“Ini adalah teleport. Kau bisa pergi kemanapun dengan cepat menggunakan Musa’s Line ini,” ucapnya.

Aku sering mendengar kisah nabi Musa yang membelah lautan dan orang-orang bisa berjalan di tengahnya agar bisa menyebrangi mencapai daratan di ujung sana. Namun, jalan Musa yang terbelah ini sedikit berbeda. Lautannya tidak terbelah. Hanya ombak yang bergejolak di sisi kiri dan kanan lautan tenang bak kaca ini dan ada berbagai Signs, rambu-rambu dengan tiang besi dan plat seng lebar berwarna hijau yang entah bagaimana caranya bisa berdiri diatas ombak tersebut.

Signs tersebut saling berhadapan diantara dua ombak tersebut setiap beberapa meter. Plang nama diatasnya menunjukan nama jalan, daerah, kota, wilayah, Negara, atau tempat apapun secara acak di seluruh penjuru dunia.

Tata letak petunjuk jalan tersebut bagiku adalah sebuah kesalahan karena memoriku mengatakan bahwa seharusnya Signs tersebut berada di jalan raya. Ditancapkan di dalam tanah berlapis beton di pinggiran jalanan beraspalnya. Bukannya di tengah lautan dan ditancapkan pada ombak yang bergelora.

Setiap hal-hal aneh yang aku temui mendadak membuat memoriku akan masa lalu terbuka semakin kentara. Potongan-potongan mozaik itu hampir tersusun sempurna dalam otakku. Semua itu membuatku terus berpikir bahwa semua yang aku lihat selama ini adalah sebuah kejanggalan. Banyak hal-hal yang hidup dan memenuhi dunia yang kutinggali ini tidak sesuai dengan ruang dan waktu yang ada. Contohnya saja teleport yang ada di hadapanku ini. Bagaimana mungkin aku masih mengerutkan kening dan mengeluarkan sebuah tanda tanya besar sedangkan semua orang disini merasa hal semacam ini adalah hal yang wajar dan biasa. Tapi masuk akalkah jika aku melihat sebuah rumah bambu reyot dan lapuk dipadukan dengan hiasan dinding berupa lukisan Starry Night karya Vincent Van Gogh, lantai bambu berlapis sutra, dan LED Tv full HD 42 inchi yang entah bagaimana caranya tv tersebut bisa menyala. Itu hanya salah satu dari sekian banyak kejanggalan yang aku lihat di pulau ini. Namun semua ini bagi mereka semua adalah masuk akal dan tak ada yang aneh.

Aku memandang ke arah signs di teleport tersebut. mencoba melihat nama-nama yang tertulis disana. Broadway Road, Newyork city, Jakarta Line, Mount Everest, Kalahari Desert, Roswell Insident Park, Leopard Museum, Jumping Moon Stone, dan banyak lagi yang lainnya.
“Apa aku bisa pergi ke pulau Mantai menggunakan teleport ini?” tanyaku. “Bagaimana Caranya?” tambahku.
“ Signs Pulau Mantai ada di ujung Musa’s Line. Jaraknya satu kilo meter. Kau harus berjalan menuju rambunya kemudian masuk ke dalam ombak,” ucap pria kerdil.
“Berjalan diatas air ini?” tanyaku menunjuk laut datar dan tenang di hadapanku.
“Iya.”
“Apa tidak akan tenggelam?” tanyaku polos.
“Kamu pasti orang baru, tentu saja kau bisa berjalan diatasnya,” jawabnya.
Aku melangkahkan kakiku diatas air tenang itu. Aku bisa berjalan diatasnya dan tidak tenggelam. Aku seperti berjalan diatas kaca yang tergenang air. Aku terus berjalan menuju ujung teleport sembari mencari papan penunjuk namanya. Ku lihat beberapa orang keluar dari ombak. Wajah mereka tampak biasa-biasa saja mengenai hal itu. Tapi aku saat ini merasa seperti tengah berada di dunia khayal, atau dimensi lain, dan planet lain yang bisa menganggap hal-hal semacam ini adalah hal yang biasa-biasa.
Aku sudah berjalan sangat lama. Tak jauh di depanku aku melihat Signs itu. Pulau Mantai. Tapi warna plangnya berbeda dari yang lain. Warnanya hitam dan berkarat. Aku heran. Tiang rambunya tak tertancap di dalam ombak seperti yang lainnya tapi berada di tengah-tengah lautan tenang yang aku pijak. Aku dekati tiang itu namun tak terjadi apa-apa. Aku pegang tiangnya dan kemudian sebuah ombak raksasa dari arah kiri dan kanan langsung menerjangku. Aku tenggelam, ombak itu sangat kuat membuatku terbawa arus yang deras hingga tiba-tiba semuanya jadi hitam. Aku mencoba berenang ke permukaan. Nafasku terengah-engah, laut hitam yang tadinya dalam berubah menjadi dangkal hingga sebatas leherku. Aku berada di dunia malam yang sungguh hitam.

Beberapa puluh meter dariku, aku melihat cahaya lampu yang melingkar-lingkar seperti pada pohon natal hingga ke puncak. Aku berenang mendekati cahaya tersebut. Banyak sekali rumah disana, saling menyambung melingkar pada sebuah batu raksasa membentuk kerucut mencapai angkasa. Aku melihat seseorang dibawah tiang lampu jalan diatas sebuah batu datar di dasar pulau bernama Mantai tersebut. Seorang kakek tua sedang berjongkok memandangiku dari sana dengan telepon kuno di sampingnya.

Saat aku mendekat, kakek berwajah sangat keriput itu masih memandangiku dengan penuh curiga. Tiba-tiba telepon di sampingnya berdering. Dia mengangkat telepon itu, mendengarkan seseorang yang bicara diujung telepon sembari mengangguk-angguk aneh.
“Ini, nak, ada telepon untukmu?” ucapnya memberikan gagang telepon itu padaku yang masih berdiri di dalam air. Aku mengambilnya namun tak ada yang bicara diujung sana. Hanya ada suara gelombang dan gemuruh aneh.
“Tidak ada suara apapun, kek,” ucapku yang tiba-tiba menggigil karena kedinginan.
“Ikuti aku, bukankah kau ingin pergi ke Peredais?” tanya kakek itu berdiri dan meninggalkanku.
Aku berusana naik ke batu tersebut. Namun tidak bisa. Berkali-kali aku tercebur lagi.
“Kek, tunggu aku kek!” ucapku saat aku berhasil naik. Aku mengikutinya berjalan menuju anak tangga kayu. Aku tak ingin lagi membahas mengenai hal-hal aneh yang aku lihat di pulau Mantai ini seperti telepon yang baru saja aku lihat ditaruh diatas batu dekat laut. Belum lagi rumah-rumah kayu yang dibangun dengan letak yang sungguh extreme.

Aku berjalan menyusuri tangga itu yang melingkar pada sebuah batu besar berbentuk kerucut. Di sebelah kanan tanggalah rumah-rumah warga yang terbuat dari kayu itu berada. Rumah-rumah itu saling menyambung seperti ular.

Aku bisa melihat orang-orang di dalamnya sedang menonton acara televisi dari tv digital. Anak-anak kecil bahkan terlihat sedang bermain Wii U diatas rumah kayu mereka yang mengenaskan. Aku tak ingin lagi melihat semua kejanggalan-kejanggalan ini.
Kakek itu membawaku ke puncak pulau 50 meter diatas permukaan laut. Akhirnya kami tiba di sebuah bangunan di puncak batu tersebut. Bangunan itu bentuknya tidak seperti rumah lainnya dan terlihat lebih tua. Bangunan itu tak memiliki dinding hanya sebuah lantai kayu yang dibangun di ujung tanduk batu ini. Tak bisa kubayangkan jika bangunan ini rubuh maka semua rumah mungkin akan roboh dan semua orang akan mati.

Di ujung bangunan ada lantai yang menjorok keluar seperti papan loncat kolam renang yang mengarah langsung kelautan hitam.
“Kau Ingin ke Peredais? Kau bisa pergi dari sini,” ucap kakek tua itu.
“Bagaimana caranya?” tanyaku dengan gemetaran berjalan di lantai bangunan itu mendekati kakek yang tak gentar berdiri di ujung papan tersebut.
“Loncat ke bawah, nanti kau akan tiba di Peredais,” jawabnya sembari tersenyum lebar.
“Tapi, aku bisa mati jika loncat dari sini,” jawabku.
“Jika kau takut, kau akan mati. Jika kau berani, kau akan tiba di Peredais. Di tanah surga impian. Dan kau bisa mengetahui segala yang ingin kau ketahui disana,” katanya.
Dalam logikaku ini memang mustahil. Dalam peta digambarkan bahwa Peredais adalah sebuah daratan. Tapi bagaimana mungkin cara untuk kesana adalah dengan melompat dari angkasa setinggi 50 meter meluncur ke laut hitam yang dalamnya hanya 1 meter. Aku bisa mati. Tapi apakah mungkin ada sebuah teleport di udara? Tapi ini terlalu nyata untuk aku lakukan. Aku ingat apa yang tentara itu bilang bahwa aku harus melewati kematian agar tiba di tanah itu. Peredais-Paradise- Land. Tanah surga.

Aku memandang kearah bawah. Kakiku sampai gemetaran dibuatnya. Ibu menyuruhku pergi kesana. Dia bilang aku bisa mengetahui segalanya dan kebenaran apa yang sebenarnya terjadi dapat kuketahui. Hal yang aku inginkan. Mungkin memang benar inilah caranya. Aku butuh jawaban dari memori-memori masa lalu itu. Segala hal yang aku ingat. Segala hal dimana logika masih berjalan dan hal-hal tak masuk akal ini sebenarnya tak terjadi di dunia yang harusnya kutinggali. Aku butuh jawaban. Beberapa sudah terjawab dan tinggal satu lagi jawaban untuk melengkapi semua ingatan aneh yang selama ini mengusikku dan jawabannya ada di Peredais.
Aku akan melewati kemustahilan ini dan mendapatkan sebuah logika dibawah sana. Aku mengambil ancang-ancang dan terbang ke bawah sana. Ke dalam kegelapan untuk mendapat sebuah keterangan…
***

Aku tergeletak di suatu tempat. Air laut maju mundur mencoba menyadarkanku yang terlelap dalam gelap. Ku buka mataku dan berusaha bangkit. Aku tiba di sebuah pantai namun pantai itu tidak berpasir. Tapi berumput. Rumput itu berwarna hijau cerah. Cahaya mentari menyinarinya dengan jelas.
Pantai rumput itu membentuk sebuah bukit dan aku berjalan untuk mengetahui apa yang ada di baliknya…
***

Aku tak bisa menggambarkannya…
Untuk sejenak aku hanya bisa diam…
Mulutku mendadak kaku…
Tubuhku tiba-tiba saja mematung dan air mata mendadak mengalir pelan dari kedua mataku…

***
Bagiku, surga adalah bukan dimana saat kau bisa melakukan segalanya, tapi, surga adalah saat kau bisa melihat seluruh alam semesta tepat di depan matamu dan kau mengetahui segalanya. Seperti yang sedang aku lihat saat ini.
Diatas, langit hitam dipenuhi ribuan galaksi, jutaan planet berbagai ukuran, milyaran bintang berwarna warni gemerlapan menghiasi kegelapan. Nebula-nebula mengalir bak sungai nil mengisi kekosongan yang ada. Sedangkan di bawah aku melihat sebuah pemandangan yang tak kalah menakjubkan. Sebuah danau berwarna biru cerah berkilauan seperti berlian. Danau itu terletak di tengah-tengah padang rumput luas yang benar-benar hijau, padang rumput itu dikelilingi gunung-gunung marmer yang indah dan menara-menara Kristal pentagonal yang mencakar-cakar angkasa yang tumbuh di tengah-tengah bukit pinus yang rimbun. Segalanya sungguh indah menakjubkan tak terperi bahkan lebih dari apa yang bisa aku katakan.

Satu hal lagi yang membuatku terpukau dan membuatku mengingat segalanya dengan sekejap. Memori-memori, mimpi-mimpi, dan hal-hal tak masuk akal yang selama ini mengisi kehidupanku dapat aku ketahui. Segalanya terekam, awal kisah, cikal bakal dari segala sesuatu yang aku lalui. Kenyataan dan apa yang sebenarnya terjadi terkuak dalam pikiranku sendiri saat aku memandang satu hal itu. Dibalik gunung marmer nun jauh disana. Sebuah bangkai kapal ulang alik dan saat aku memandang kapal tersebut lebih dalam, pikiranku menerawang jauh ke dalam angan-angan dan semuanya terdeskripsikan disana…
***

1 Desember 2020.
Aku ingat hari itu. Saat itu aku sedang duduk di bangku depan, menyaksikan sebuah pentas seni Jepang yang digelar di gedung kesenian balai kota. Anak-anak menari-nari diatas panggung dan beberapa stasiun televisi menayangkannya secara Live. Pentas tiba-tiba terhenti dikala pemerintah menayangkan kabar penting mendadak. Kabar penting mengenai penemuan terbesar selama berabad-abad. Planet E2 berhasil ditemukan.

Planet yang dijuluki kembaran bumi tersebut sangat unik. Bentuknya tidak bulat sempurna, melankan lonjong seperti semangka. Atmosfernyapun sangat lah aneh. Bercahaya memancarkan warna biru dan jingga saling silang seperti garis semangka. Atmosfernya tidak melindungi planet itu secara sempurna. Dibagian selatan atsmosfernya sangat tebal namun dibagian utara begitu tipis hingga antariksa yang hitam dan bercahaya dapat terlihat dengan jelas di siang hari. Bukan hanya itu, planet tersebut hanya punya satu daratan utama seluas pulau madagaskar sisanya hanya air dan beberapa pulau mini padahal luas planet itu 5 kali lipat lebih besar dari bumi. Dan yang mengejutkan dari planet itu adalah, di daratan planet itu terdapat bangkai kapal ulang alik yang terkubur dalam tanah berusia 100 tahun.

Memori lain tergambarkan di langit itu. Meskipun aku tak pernah mengingat kejadian yang satu itu tapi semua tergambarkan dengan jelas disana.

Sehari setelah berita yang menggemparkan dunia itu, dalam malam berbadai aku diculik oleh seorang wanita bernama Anna Rose. Wanita yang selama ini aku anggap adalah ibuku. Wanita itu membawaku dalam sebuah portal ruang dan waktu dan membekukanku dalam tidur di rumah abadi Clingstone. Hingga suatu ketika aku tak mengingat siapa orang tuaku sebenarnya dan menganggap wanita itulah ibuku.

Mataku memandang ke sebuah bintang biru di angkasa hitam. Lalu memori lain terlihat jelas kembali disana.

Seorang gadis berkimono, sedang duduk di depan halaman rumahnya. Settingnya seperti dunia masa lalu di Jepang dan tahunnya menunjukkan 1212. Gadis itu bernama Hitomi, seorang peramal kerajaan. Entah darimana, kakek datang, berbicara dengan gadis itu menggunakan bahasa jepang dan gadis itu menuruti kakek masuk dalam portal yang membawanya sama. Ke dalam rumah abadi ini. Lebih tepatnya ke dalam kamar milik kakak perempuanku berparas jepang tersebut.

Hanya itu gambaran yang aku lihat. Tak ada yang lain lagi. Sejumlah pertanyaan dalam benakku? Siapakah Anna Rose? Kenapa dia menculikku dan hampir mencuci otakku agar aku menganggapnya adalah ibuku? Dan juga siapa kakek yang aku anggap kakekku itu? siapakah gadis Jepang yang kini jelas dia bukanlah kakakku?
Aku berjalan ke arah barat mendekati sebuah bukit terjal penuh dengan tiang-tiang Kristal yang menancap dengan sembarang. Ada sebuah tenda disana di dekat perkebunan bunga. Tenda itu terbuat dari kain modern dan rangka besi yang masih mengkilat. Aku melihat ke dalamnya. Ada dua sosok tengkorak disana. Yang satu pria dan satu wanita Terbaring diatas kasur yang putih dan bersih.

Dalam tengkorak lengan pria terdapat sebuah audio recorder. Aku mengambilnya dan menekan tombolnya. Sebuah suara terdengar.
“2058, namaku Dani, kami tiba di planet semangka. Namun kecelakaan terjadi. Kapal Peredais tak mendarat dengan mulus. Setengah badannya masuk kedalam tanah dengan kemiringan 70 derajat. Beberapa ratus orang meninggal namun yang lainnya selamat dan mencoba memulai hidup disini setelah kami menyaksikan bumi meledak dan kamilah yang terakhir…
“Ada bermacam masalah yang terjadi di planet ini. Tanaman dan benih-benih yang kami bawa dari bumi tak bisa tumbuh di satu-satunya daratan di planet ini….
“Tahun 2059, hal-hal yang tak masuk akal mulai kami temukan disini. Tanaman bisa tumbuh di air, orang-orang bisa berjalan di beberapa perairan tertentu, rumah bisa dibangun diatas air dan peralatan elektronik dapat menyala dengan air. Air adalah sumber segalanya di planet ini, hukum fisika, kimia, gravitasi dan segala hukum-hukum yang ada di bumi tidak berlaku di planet ini…
“Tahun 2060 dalam perhitungan bumi yang masih menjadi tolok ukur waktu di planet ini. Usiaku kini 52 tahun, dan aku baru akan menikah dengan seorang perempuan yang mencintaiku. Umurnya baru 25 tahun.
“Tahun 2064 Kami menemukan berbagai portal atau teleport yang membawa kami ke berbagai belahan planet ini bahkan planet lain. Yang lebih hebat adalah kami menemukan portal ruang dan waktu yang bisa terhubung dengan bumi di masa lalu. Masa sebelum bumi kiamat…

Hanya itu yang bisa aku dengar dari rekaman tersebut. Tak ada yang lain. Jasad yang terbaring di kasur itu ternyata adalah diriku. Tapi aku tidak bisa mengingat kejadian saat aku dewasa. Aku menyentuh lengan tengkorak tersebut dan satu memori lain terbayang dipikiranku.

Ditemukannya planet yang mirip bumi membuat orang-orang gembira namun ada kabar buruk lain saat pihak Nasa menemukannya. Selain mereka menemukan planet tersebut. Tanpa disangka-sangka mereka pun menemukan planet x yang mereka ketahui akan menabrak bumi. Mereka mengatakan planet Semangka akan mendekati bumi dengan titik jarak sedekat bulan pada tahun 2050 sebelum akhirnya menjauh dari galaksi bima Sakti. Sedangkan mereka mengatakan planet x akan menabrak bumi pada tahun 2058…
2050, usiaku 42 tahun dan aku telah bergabung dengan Nasa sejak sepuluh tahun yang lalu. Tahun itu, sebuah kapal luar angkasa raksasa yang dapat menampung 1 juta orang telah selesai dibangun. Dan tahun itu pula, aku bersama 999999 orang lain yang terpilih akan pindah ke planet semangka dan mencoba hidup di planet tersebut. Sementara orang-orang yang tersisa di bumi hanya akan menunggu kiamat datang saat planet x menabrak bumi 2058.

Itu memori terakhir yang muncul di kepalaku namun aku masih belum mengerti kenapa diriku yang masih anak-anak ini dibawa wanita itu ke planet ini. Ke dunia yang seharusnya belum perlu aku tinggali?
“Dani,” ucap seorang wanita di belakangku. Aku menoleh. Wanita itu, Anna Rose mendekatiku.
“Siapa kau? Kenapa kau membawaku kemari?”
“Setelah kamu meninggal, anakmu bersama suaminya membangun Clingstone di tengah lautan. Di rumah itu mereka melahirkan anak laki-laki bernama Regan. Anak-laki-laki yang kini sudah menjadi tua dan kau anggap kakekkmu. Tapi dia bukan kakekmu melainkan cucumu dan aku adalah anak dari cucumu,” jelas wanita itu padaku.
“Tapi kenapa kalian membawaku kemari? Dan siapakah gadis jepang itu? kalian membawanya pula kan kemari? Dari bumi? Dari masa lalu?”
“Kejadian buruk tengah terjadi, dan semenjak bertahun-tahun lalu, sesuatu yang jahat itu semakin menjadi-jadi,” ucapnya kemudian menghela nafas.
“Semua berawal saat portal ruang dan waktu yang dapat menghubungkan planet ini dengan planet lain maupun dengan bumi di masa lalu sebelum kiamat itu terjadi. Manusia-manusia aneh dari planet lain mulai berdatangan kemari. Awalnya mereka berniat baik namun seiring dengan berjalannya waktu lebih dari seabad lalu. Perlahan mereka mulai menguasai planet ini. Bahkan berniat menguasai planet bumi masa lalu,”
“Lalu apa hubungannya denganku?” tanyaku.
“Kami akan mengubah masa lalu. Kami ingin bumi selamat dari kiamat tersebut dan manusia-manusia planet lain tak berhasil menguasai bumi. Kamu dan hitomi adalah dua juru kunci yang bisa mengubah masa lalu dan menciptakan masa depan yang indah,” jawabnya. “Masa depan di bumi,” tegasnya.
“Aku tidak mengerti. Jika kalian bisa ke masa lalu, kenapa tidak kalian sendiri yang mengubahnya?” tanyaku.
“Kami tidak hidup di masa lalu. Kamu hidup di masa lalu. Hanya kamu yang bisa mengubahnya,” jawabnya.
“Kalian membawaku di tahun 2020 tapi kenapa masa depanku tidak berubah? Jika aku tidak ada di tahun tersebut. Seharusnya akan ada yang berubah dan tidak akan ada kamu di dunia ini?”
“Kita hidup di dunia yang berbeda, dimensi berbeda, ruang dan waktu berbeda, dan situasi yang berbeda. Ilmuan-ilmuan bumi berpendapat jika perjalanan waktu dilakukan ke masa lalu dan di masa lalu diadakan perubahan maka masa depan akan berubah dan menjadi kacau. Tapi kenyataannya tidaklah seperti itu. Kamu tahu, alam semesta ini ibarat sebuah video game, kamu memainkan gamenya. Game yang sangat panjang dan kamu akhirnya men-save data game tersebut dalam sebuah memory agar bila ada hal yang tak dinginkan seperti game eror atau mati lampu, kamu bisa memainkan game itu kembali dari save data tadi. Bukan dari awal. Itulah yang terjadi dalam misteri waktu dan alam semesta. Waktu tersimpan dalam tiga bagian. Masa lalu, masa sekarang dan masa depan dan tiga waktu tersebut tersimpan dalam 3 dimensi pula. Sebagai contoh: ibaratkan masa lalu adalah save data di file 1, masa sekarang adalah file 2 dan masa depan adalah file 3. Kau bisa pergi dan bermain di file 1, apapun yang kau lakukan disana tidak akan berpengaruh pada file 2 dan file 3 kecuali jika kau ingin mengubah masa depan, kau harus tinggal dan bermain di file 1 selamanya dan menghindari kesalahan yang terjadi di file 2 dan file 3,” ujarnya padaku dengan jelas.
“Seperti yang aku bilang. Aku tidak bisa mengubah masa lalu karena aku tidak hidup di masa lalu. Jika aku ingin mengubahnya. Maka aku harus selamanya tinggal di masa lalu. Di duniamu. Dan aku tidak mungkin bisa hidup selamanya di masa lalu. Aku ingin bumi selamat dari kiamat dan aku ingin dilahirkan kembali dan hidup di bumi serta mencegah manusia planet lain menguasai bumi maupun planet ini. Maka dari itu aku membawamu dan hitomi. kalian berdua yang bisa menyelamatkan bumi. Aku membawa kalian sebelum para manusia asing itu menemukan kalian terlebih dahulu namun ternyata usahaku tak cukup kuat hingga hitomi berhasil mereka rebut. Dan satu-satunya harapan kami adalah kamu, Dani,” tambahnya.
“Hitomi adalah file 1, kamu adalah file 2, dan aku adalah file 3. Kita tidak bisa merubah masa depan dari file 1. File 1 sudah eror dan hilang. Satu-satunya cara adalah merubahnya dari file 2. Dari kamu,” tegas Anna Rose.
“Lalu apa yang harus aku lakukan?” tanyaku.
“Musnahkan file 3.”
“Caranya?”

Wanita itu memberikan aku sebuah remot kecil. Dengan satu tombol ditengahnya.
“Aku akan mengirimu kembali ke masamu, dan saat kamu melihat kapal itu, peredais di siaran televisi, segera tekan tombol ini. Apa kamu mengerti?” tanyanya. Aku mengangguk kemudian wanita itu memelukku.
“Dani, aku harap umurmu panjang dan melihatku lahir di bumi seabad kemudian,” ucapnya ditelingaku. “Sekarang, pandanglah bintang biru itu, kau akan tiba di duniamu,” tambahnya.

Aku memandang tanpa berkedip bintang biru yang berkilau indah tersebut dan tiba-tiba saja aku berada di tempat yang sangat aku pahami.

1 Desember 2020.
Aku sedang duduk di bangku depan, menyaksikan sebuah pentas seni Jepang yang digelar di gedung kesenian balai kota. Anak-anak menari-nari diatas panggung dan beberapa stasiun televisi menayangkannya secara Live. Pentas tiba-tiba terhenti. Sebuah layar yang terpajang dipinggir pannggung menampilkan sebuah berita.
“…Planet E2 berhasil ditemukan… Planet yang dijuluki kembaran bumi tersebut sangat unik. Bentuknya tidak bulat sempurna, melainkan lonjong seperti semangka. Atmosfernyapun sangat lah aneh. Bercahaya memancarkan warna biru dan jingga saling silang seperti garis semangka. Atmosfernya tidak melindungi planet itu secara sempurna. Di bagian selatan atsmosfernya sangat tebal namun di bagian utara begitu tipis hingga antariksa yang hitam dan bercahaya dapat terlihat dengan jelas di siang hari. Bukan hanya itu, planet tersebut hanya punya satu daratan utama seluas pulau madagaskar sisanya hanya air dan beberapa pulau mini padahal luas planet itu 5 kali lipat lebih besar dari bumi dan yang mengejutkan dari planet itu adalah, di daratan planet itu terdapat bangkai kapal ulang alik yang terkubur dalam tanah berusia 100 tahun…”

Kapal itu… peredais…
Aku melihat benda yang ada di tanganku. Benda itu, aku tekan tombolnya. Tiba-tiba saja Peredais meledak, membuat planet itupun ikut meledak. Jaraknya dekat dengan Uranus. Akibat dari ledakan tersebut. planet Saturnus, Uranus, dan Neptunus berpindah posisi dan keluar dari jalur lintasannya. Ketiga planet tersebut tak lagi mengitari matahari . Melindungi bumi dari jalur Planet X yang akan melintas 8 tahun kemudian.
***

Semua kenangan tentang planet semangka, Peredais Land, semua hal-hal janggal tak masuk akal sekaligus menakjubkan kini musnah dan memori tentang semua itupun kini perlahan hilang dari ingatanku. Dan saat aku bangun tidurku tadi pagi yang kurasa semua hanyalah mimpi. Pantai rumput, menara Kristal, danau berlian, gunung marmer, aliran Nebula, untaian galaksi, dan peredais… semua hanyalah bagian dari mimpi surga yang kuingat tadi malam…

You Is My Friend




Aku sudah bosan berlarut-larut dalam kebingungan ini. Aku lelah terus menanti perubahan sikapmu itu. Aku berusaha bersikap seperti biasa, seolah-olah di antara kita tidak pernah terjadi masalah. Tapi kamu tetap bertahan dengan sikap diammu itu tanpa pernah berpikir apa aku akan baik-baik saja?
Tidak… tidak akan aku biarkan kamu memperlakukanku seperti ini! Kita harus bicara! Sungguh! Akan ku coba membuatmu mengerti!
“Ndre. Aku mau bicara sama kamu. Penting.”
Saat itu ku beranikan diri mengawali obrolan yang sudah hampir 3 bulan tidak pernah terdengar. Wajahnya keheranan setelah tahu siapa yang telah mengusik kesibukannya. Ya, saat itu dia sedang berbincang-bincang dengan salah seorang teman sekelas kami. Aku tidak berani menatapnya lebih lama lagi, karena aku selalu menghindari sorotan tajam mata itu. Mata yang membuatku salah tingkah.
“Ikut aku.”, ujarnya.
Dia berjalan mendahuluiku dan aku seperti ekor yang dengan patuh mengikuti dari belakang. Kebetulan hari ini dosen jam pertama tidak hadir, jadi kami masih punya waktu sekitar 1 jam untuk bersantai. Kami menuruni anak tangga, dan saat itu aku masih saja berjalan sambil menundukkan kepala.
DUK!
“Aduh!”
Aku meringis sambil mengelus-ngelus kepalaku yang secara tak sengaja menabrak punggungnya. Well, aku tidak sadar kalau Andre menghentikan langkahnya tadi. Aku mendongakkan kepala saat ia memutar badannya menghadapku. Humph! Astaga, rasanya aku tidak bisa bernafas. Andre sedang menatapku tanpa ekspresi, membuatku makin grogi. Untungnya aku masih bisa mengontrol diri.
“So,” “Apa yang mau kamu omongin, Na?”, tanyanya kemudian.
“Soal sikap kamu!”, ujarku dengan nada meninggi.
“Ha? Sikapku yang mana lagi, hah? Begini salah, begitu salah. Mau kamu apa sih?”
“Aku mau kita seperti dulu lagi, Ndre! Aku mau kamu berhenti pasang aksi “diam” ke aku terus-terusan! Kamu pikir aku tahan gak bicara sama kamu selama 3 bulan?!”
“Ternyata kamu masih saja belum mengerti, Na. Aku justru berusaha menjaga jarak di antara kita!”
Aku menatapnya tak percaya. Menjaga jarak? Setelah berbagai hal yang sudah mereka lewatkan bersama, bisa-bisanya Andre mengatakan hal seperti itu!
“Kenapa, Ndre?! Kenapa harus sampai segitunya sih?! Memangnya apa yang udah aku lakuin?!”, tanyaku gusar.
“Bukan kamu, Na, tapi KITA! Tanpa sadar kita sudah buat orang-orang berpikir kalau kita itu pacaran! Aku risih, Na! Aku berusaha menjaga jarak supaya mereka berhenti beranggapan seperti itu!”
PLAK!
Andre memegangi pipinya. Ia menatapku dengan penuh tanda tanya. Mungkin ia bingung kenapa aku sampai hati menamparnya.
“Jadi karena itu kamu memilih untuk sama sekali nggak bicara sedikitpun sama aku, Ndre? Hanya gara-gara mereka suka meledek kita, berkomentar macam-macam, sampai akhirnya kamu harus memperlakukan aku seperti ini?! Aku nggak percaya ternyata kamu pengecut! Kenapa harus dengan cara ini, HAH?! Kamu kan bisa bilang ke aku, Ndre… kita bisa selesaikan masalah ini bak-baik. Ini kan soal KITA! Bukan hanya KAMU!”
Bibirku bergetar saat meluapkan apa yang telah aku rasakan selama ini. Wajahku memanas, sepanas telingaku mendengar alasan perubahan sikapnya itu. Aku tidak bisa menahan air mata ini lebih lama. Kubiarkan mengalir sebagaimana mestinya.
“Apa salahnya kalau mereka berbicara seperti itu. Apa salahnya kalau kenyataannya kita memang dekat, Ndre. Kalaupun kamu nggak suka, apa kamu nggak bisa menganggap semua itu hanya sebuah “guyonan”? Wajar kan kalau mereka suka bercanda. Kamu pun seperti itu, kan?”
“Justru aku makin ngerasa bersalah, Na. Kamu itu sudah ada yang punya, sedangkan aku? Aku nggak mau mereka berpikiran kita itu selingkuh!”
“Apa kamu ngerasa kita seperti itu? Apa kita pernah pergi berdua, pegangan tangan, dan sebagainya! Kita memang deket, Ndre, tapi kita nggak selingkuh! Kita cuma sekedar teman belajar! Astaga, kenapa kamu… ah! Sudahlah, Ndre. Aku sendiri bingung aku harus menjelaskan apalagi.”
Aku mendesah. Sudah. Aku sudah menyerah. Aku sekarang pasrah, ia akan bertahan dengan sikapnya itu atau memilih menyudahinya. Aku sudah sangat kesal! Saking kesalnya sampai-sampai aku tersenyum sendiri.
“Ndre, entah bagaimana kamu mengartikan kedekatan kita selama ini. Tapi sejujurnya, aku cuma ingin jadi teman yang baik buat kamu. Teman yang selalu ada di saat apapun, yang selalu mengingatkan kamu segala hal. Aku senang bisa jadi alarm buat kamu. Hmm.. Aku minta maaf ya. Maaf kalau ternyata hal ini membuat kamu terganggu,” ujarku seraya tersenyum.
Aku dapat melihat wajah kekesalannya. Tapi tak butuh waktu lama untuk melihatnya, karena kedua kaki ini terasa gatal ingin segera meninggalkan tempat itu. Mungkin ini akhir dari hubungan kita. Ya, aku telah gagal menjalin persahabatan dengan salah satu cowok terpintar di kelasku.
Satu minggu berlalu. Aku telah menjalani hari-hari pasca pembicaraan dengan Andre dengan sangat baik. Aku telah putuskan sejak hari itu aku akan membuka lembaran hidup yang baru. Tidak ada lagi namanya dalam kehidupanku. Tapi sepertinya tidak begitu dengan Andre. Ia sering ku pergoki curi-curi pandang saat pelajaran berlangsung. Aku hanya tersenyum melihat tingkah lakunya yang lucu. Hal yang dulu juga aku lakukan untuk menarik perhatiannya. Hah, boomerang itu sudah mengenai dirinya sendiri. Perubahan sikap kami ternyata berpengaruh pada teman-teman yang lain. Mereka sendiri bingung, kenapa sekarang aku dan Andre tidak sekompak dulu. Bahkan kami terkesan bersaing dengan keras. Jika ada yang bertanya, aku hanya menanggapinya dengan santai.
“Oh ya? Masa sih kita berubah?”
Hahaha. Lama kelamaan aku mulai terbiasa dengan ini semua. Yah, walaupun aku akui terkadang perasaan rindu itu menghantui. Bagaimana mungkin kita bisa melupakan seseorang yang sangat berarti dengan begitu mudah?
Hari ini tidak seperti biasanya aku ingin telat datang ke kampus. Malas bertemu dosen Literature yang nggak asyik itu. Toh telat pun Miss. Rina tidak akan berkomentar apa-apa.
Tapi rupanya Miss. Rina tidak hadir mala mini. Pantas saja, saat ku intip dari balik pintu terlihat teman-temanku sibuk dengan kegiatannya sendiri.
Krieet. Aku perlahan membuka pintu kelas, memasuki kembali dunia pendidikan yang saat ini ku tempa. Begitu mengetahui siapa yang datang, keadaan kelas yang tadinya ramai, mendadak sunyi senyap. Aku masih saja berdiri di depan pintu. Mematung keheranan. Ku toleh ke belakang, mungkin saja ada dosen lain yang datang, karena sikap seisi kelas sangat aneh. Tapi tidak ada seorangpun. Ku teliti lagi arah pandang mereka. Hanya ke satu titik. Aku.
“Hai! Kok pada bengong gitu sih? Kenapa?”, tanyaku penasaran.
Namun mereka sama sekali nggak memberikan jawaban. Dengan kompak mereka menunjuk ke arah whiteboard di depan kelas.
“Aku memang bukan teman yang baik karena sudah membuat kamu menangis. Aku seharusnya berterima kasih atas semua perhatian yang sudah kamu berikan. Aku tahu aku terlalu bodoh menanggapi perkataan orang lain tentang kita. Aku nggak berharap kamu akan bisa memaafkan aku. But, would you like to be my friend again?”
“Hah?! Ini… siapa yang…”
Belum selesai mengutarakan kekagetanku, ada seseorang menarik lenganku dari belakang. Aku pun berbalik. Dan ternyata kekagetan tadi gara-gara…
“Andre?”, “Ini maksudnya.. apa?”, tanyaku bingung.
Tampak Andre merogoh saku kanannya. Sebatang coklat pun muncul.
“Hana… maafin aku ya?”
“Cciieee…!”
Sorakan pun terdengar memenuhi kelas. Wajahku memerah menahan malu. Kaget, senang, lucu, malu, semua perasaan bercampur aduk menjadi satu.
“Kalau kamu terima coklat ini, itu artinya kamu maafin aku. Kalau dalam hitungan 10 detik coklat ini nggak kamu ambil, berarti kamu masih marah.”, ujar Andre.
Andre kemudian menutup matanya. Aku bingung sekali, what should I do?
“Satu… Dua… Tiga…”
Hitungan mulai berjalan. Aku panik. Aku mau saja menerima coklat itu, tapi di satu sisi aku masih merasa kesal dengan sikap Andre.
“…sembilan… sepu…”
“Iya, Ndre! Iya… Aku terima permintaan maaf kamu. Juga coklat ini.”, ujarku dengan wajah tertunduk sambil mengambil coklat itu.
“Horeee..! Prok! Prok! Prok!”.
Suasana kelas makin gaduh. Apalagi saat mereka menyuruh kami berpelukan sebagai tanda kami sudah baikan. Duh! Ampun deh…
Andre tampak senang sekali. Dapat ku baca ekspresi itu di wajahnya. Tiba-tiba aku merasa badanku tertarik ke depan. Oh, tidak. Andre… memelukku?
“Makasih ya, Na. Makasih kamu udah mau maafin aku. Aku janji, kali ini aku yang akan jadi teman yang baik buat kamu!”.
Aku tersenyum mendengarnya. Aku senang karena akhirnya Andre kembali seperti dulu lagi. Bahkan jauh lebih baik daripada sebelumnya. Ndre, tolong jangan seperti ini lagi ya. Aku tulus berteman dengan kamu. Aku sayang sama kamu. Jangan lagi mengecewakan perasaanku. Jangan rusak hubungan ini lagi. Hanya itu pintaku. Tentu saja semua itu ku ungkapkan di dalam hati. Terima kasih Tuhan. Kau kembalikan sahabatku lagi.
“ANDRE! HANA! APA-APAAN KALIAN INI?”
Kami langsung saja melepaskan pelukan. Suara itu tidak asing di telinga kami. Begitu tahu si empunya suara, aku dan Andre saling pandang. Itu kan, Miss. Rina…
“Oh.. Tidak..”
TAMAT


 Cerpen Karangan: Hefi Rusdiana
Blog: hepydianaa.blogspot.com

Harga sebuah impian (The price of a dream)



Harga Sebuah Impian 

 


Andalusia pada masa Umayyah. Ada tiga orang pemuda yang beprofesi sebagi kuli angkut. Pada suatu malam, ketika makan malam, ketiganya duduk sambil ngobrol.
“Seandainya aku menjadi khalifah, apa yang kalian berdua angan-angankan?” Tanya salah seorang dari mereka yang bernama Muhammad.
”Wah itu tidak mungkin,” jawab dua temannya.
“Andai saja,” timpal Muhammad.
“Ya, itu juga tidak mungkin,” kata temannya menimpali.
“Kamu lebih baik menjadi kuli saja. Jika jadi khalifah, akan banyak orang yang menentangmu,” kata yang lain.
“Sudah aku katakan, seandainya saja aku menjadi khalifah.”
Pikiran Muhammad pun melanglang buana, menghayalkan andai dirinya duduk di kursi kekhalifahan.
Dia berkata kepada salah satu temannya, “Apa yang kau inginkan teman?”
”Aku menginginkan kebun-kebun yang berbuah lebat.”
“Apa lagi?”
“Sekandang kuda”
“Apa lagi?”
“Aku ingin seratus budak wanita.”
“Lalu apa lagi?”
“Seratus ribu dinar emas.”
“Apa lagi?”
“Sudah cukup itu saja wahai Amirul mukminin.”
Muhammad tenggelam dalam lamunannya yang penuh ambisi itu. Dia melihat dirinya seakan duduk di kursi kekhalifahan memberikan permintaan temannya dan merasakan kegembiraan yang luar biasa.
Kemudian ia menoleh kepada temannya yang lain.
”Apa yang kau inginkan teman?”
”Wahai Muhammad, engkau hanyalah seorang kuli. Sedangkan kuli tidak pantas menjadi khalifah,” jawab temannya.
“Biarkan sajalah saya dengan semua khayalan saya. Apa yang kau inginkan?”
“Dengarlah wahai Muhammad, jika engkau menjadi khalifah, maka dudukkan aku di atas keledai, hadapkan aku ke belakang, kemudian suruhlah orang agar berjalan bersamaku di gang-gang kota sambil berteriak ‘Hai orang-orang, inilah Dajjal penipu. Siapa yang berjalan dengannya, atau berbicara dengannya akan kutempatkan dia di penjara!’.”
Lama kelamaan percakapan mereka pun mulai berubah menjadi dengkur. Mereka tertidur.
Bersamaan dengan terbitnya matahari, Muhammad bangun dan mendirikan shalat fajar. Setelah itu ia duduk terpekur. Dalam duduknya ia teringat kembali akan impiannya.
“Memang benar,” katanya dalam hati, “Seorang kuli tak pantas menjadi khalifah. Tapi apabila seseorang menjalani hidup tanpa ada perkembangan dalam keilmuan, tanpa ada penentu untuk cita-cita dan ambisinya, tak mungkin ia bisa maju. Bahkan dia akan tertinggal.”
Ia mulai memikirkan langkah awal untuk mencapai cita-cita yang ia inginkan. Akhirnya, sebagai harga untuk impiannya ia memutuskan untuk menjual keledainya.
Saudaraku, apa yang harus kita jual untuk memulai langkah kita? Yang harus kita jual adalah pesimisme kita yang sering tercermin dengan kata-kata, “Aku tidak bisa, aku tidak pantas, aku bukan ahlinya.” Seolah kita mengatakan pada diri kita bahwa aku buruk, aku tak berguna. Kita seharusnya mengganti kata-kata negatif itu dengan kata positif, “Aku bisa dengan ijin Allah, aku bisa menghadirkan yang lebih baik, saya bisa ambil bagian dalam membangun masyarakat.”
Ibnu Abi Amir alias Muhammad pergi dengan membawa segenap kesungguhannya. Ia cari cara yang bisa mengantarnya pada cita-cita. Ia pun memutuskan untuk masuk akademi kepolisian. Kesungguhan dan semangatnya menjadikan karirnya cepat meningkat. Tak lama ia diangkat menjadi kepala polisi di Andalusia.
Saat ia menjabat sebagai kepala polisi, khalifah Umayyah meninggal dan digantikan oleh anaknya, Hisyam Al-Muayyid Billah yang saat itu baru berumur sepuluh tahun.
Apakah bisa anak sekecil itu mengurus pemerintahan?
Masyarakat bersepakat untuk mencarikan seorang penasihat untuknya, tapi mereka takut mengangkat penasihat dari kalangan Bani Umayyah karena bisa merebut tahta kerajaan. Akhirnya, mereka menetapkan semua penasihat harus dari luar Bani Umayyah. Jatuhlah pilihan kepada Muhammad bin Abi Amir, Ibnu Abi Ghalib, dan Al-Mushafi. Muhammad bin Abi Amir yang memiliki kedekatan dengan ibunda khalifah mendapat kepercayaan lebih. Dia pun mengadukan kelakuan buruk Al-Mushafi ketika menjadi penasihat kepada ibunda khalifah yang berbuntut dilengserkannya ia dari kursi penasihat. Muhammad akhirnya menikahkan puteranya dengan putri Ibnu Abi Ghalib.
Selang beberapa lama, akhirnya ia menjadi penasihat tunggal sang khalifah muda. Ia membuat sebuah keputusan umum bahwa khalifah hanya boleh keluar dengan izinnya. Selain itu, ia juga menetapkan bahwa pergantian masalah hukum harus dilakukan di istananya.
Beberapa kali pasukan Bani Umayyah berperang dan menaklukkan beberapa kota. Daulah Bani Umayyah di masa Muhammad bin Abi Amir pun semakin luas. Muhammad juga menjadikan kenyataan beberapa kemenangan dimana para khalifah Bani Umayyah belum pernah mencapainya di Andalusia. Sampai sebagian dari ahli sejarah mengatakan bahwa waktu itu adalah masa terputus di daulah Umayyah, dan dinamai dengan daulah Amiriyyah. Begitulah yang diperbuat sang penolong, Muhammad bin Abi Amir. Dia mampu menjadikan angannya kenyataan dengan tawakkal kepada Allah dan memanfaatkan kemampuan terpendam yang dikaruniakan oleh Allah.
Suatu hari, tiga puluh tahun berselang sejak dijualnya keledai, setelah sang penolong menduduki kursi kekhilafahan dan
dikelilingi para ulama, fukaha, dan para pemimpin, ia teringat dua orang kuli, temannya dahulu. Lantas dia mengutus seorang tentara  untuk menemui mereka.
”Pergilah ke kota itu. Jika kau dapati dua orang laki-laki dengan ciri seperti ini, datangilah dan katakan pada mereka, kamu dipanggil oleh Amirul Mukminin.”
Tentara itu pun berangkat dan menemukan dua laki-laki dengan ciri-ciri yang disebutkan oleh Ibnu Abi Amir. Pekerjaan mereka masih sama. Tempat mereka sama. Kepandaian mereka juga sama. Mental kuli mereka juga masih melekat sejak tiga puluh tahun silam.
”Sesungguhnya Amirul Mukminin meminta kalian berdua ke istana.”
”Kami tidak melakukan kesalahan apa-apa, kami tidak melakukan apapun,” jawab si teman.
“Amirul mukminin menyuruhku untuk membawa kalian ke hadapannya.”
Sesampainya di istana, mereka takjub ketika melihat bahwa sang khalifah adalah Muhammad, teman mereka dahulu.
”Apakah kalian berdua masih mengenaliku?” Tanya Muhammad.
“Ya, wahai Amirul mukminin,” jawab keduanya, “Justru kami takut bahwa engkaulah yang sudah tidak mengenal kami.”
“Aku masih mengenali kalian.”
Kemudian Muhammad melihat ke kebun di samping dan berkata:
“Tiga puluh tahun lalu kita bersama-sama bekerja sebagai kuli. Suatu malam kita duduk-duduk berbincang bincang. Saat itu aku membayangkan menjadi khalifah dan bertanya apa yang kalian inginkan.”
Lalu ia menoleh ke salah satu dari mereka,
”Apa yang kalian inginkan, teman-temanku?”
“Kebun yang berbuah lebat,” jawab temannya.
”Kebun yang ini dan ini sekarang milikmu. Apa lagi?”
“Sekandang kuda”
“Baiklah kau mendapatkannya. Apa lagi?”
“Seratus budak wanita”
“Engkau akan miliki seratus budak wanita itu. Apa lagi?”
“Seratus ribu dinar emas”
“Itu milikmu. Apa lagi?”
“Sudah cukup wahai Amirul mukminin,” kata temannya itu.
“Engkau juga mendapatkan gaji tanpa kerja, dan bisa masuk istanaku tanpa birokrasi.”
Kemudian ia menoleh kepada temannya yang lain dan bertanya,
“Apa yang kau inginkan?”
“Maafkan aku wahai Amirul Mukminin,” jawabnya.
“Tidak, demi Allah, sampai kau beri tahu mereka apa yang kau inginkan.”
”Kita kan teman wahai Amirul mukminin.”
“Tidak, demi Allah, sampai kau beri tahu mereka apa yang kau inginkan.”
“Jika engkau menjadi khalifah, maka dudukkan aku di atas keledai, hadapkan aku ke belakang, kemudian suruhlah orang
agar berteriak ‘Hai orang-orang, inilah sang pembohong ulung. Siapa yang berjalan dengannya, atau berbicara dengannya akan kupenjarakan dia!’.”
“Laksanakan sesuai dengan yang ia inginkan agar dia tahu bahwa Allah Mahasanggup atas segala sesuatu.” kata Muhammad bin Amir.
Memiliki mimpi itu penting, sama pentingnya dengan action plan. Mimpilah yang membuat Anda bergerak. Tanpa mimpi Anda akan diam di tempat. Mulailah dari bermimpi kemudian raihlah sukses Anda karena kebanyakan orang sukses memulai dari mimpi.
Banyak hal yang bisa menghalangi kita dari sukses. Namun, tidak ada seorang pun yang bisa menghalangi kita dari bermimpi. Setinggi apa pun mimpi Anda. Yang terpenting setelah bermimpi adalah take action, mengambil langkah untuk mewujudkannya. Mimpi Anda sekarang, menentukan hidup Anda beberapa tahun ke depan.
Saatnya Anda buat mimpi Anda sekarang

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More